eCWbXBoqKVlcyXUNIzJr7wbcnJRa7fysuT0ds4TB
Bookmark

ITSEC Asia Beberkan Strategi AI untuk 2025, Siap Hadapi Perang Siber

ITSEC Asia Beberkan Strategi AI untuk 2025, Siap Hadapi Perang Siber - Kecerdasan buatan (AI) kini merevolusi dunia keamanan siber, memungkinkan perusahaan mendeteksi, memprediksi, dan menanggulangi ancaman dengan kecepatan dan akurasi tinggi. Seiring meningkatnya risiko siber, ITSEC Asia, perusahaan keamanan siber terkemuka di Asia-Pasifik, mengungkap strategi 2025 yang berfokus pada solusi keamanan berbasis AI untuk menghadapi ancaman digital masa depan.  

Menurut laporan industri, investasi global dalam keamanan siber berbasis AI diprediksi  melampaui $46 miliar pada 2028, dengan AI mampu memangkas waktu respons insiden hingga  96%. 

ITSEC Asia Beberkan Strategi AI untuk 2025, Siap Hadapi Perang Siber


“AI bukan lagi sekadar tambahan, melainkan kebutuhan utama. Dengan AI, bisnis dapat mendeteksi ancaman lebih cepat,  mengotomatisasi respons, dan membangun strategi keamanan yang proaktif, bukan reaktif," kata Joseph Edi Lumban Gaol, Presiden Direktur ITSEC Asia.

Tiga Teknologi Utama AI-first

Pendekatan AI-first yang diterapkan oleh ITSEC Asia didukung oleh tiga teknologi utama:  machine learning, analisis perilaku, dan otomatisasi—masing-masing berperan penting dalam  memperkuat keamanan siber.  

Machine Learning (ML) 

Machine Learning (ML) adalah "otak" di balik kemampuan AI untuk belajar dan  beradaptasi. Teknologi ini memungkinkan sistem untuk terus menganalisis pola serangan  dalam jumlah besar, sehingga dapat mengenali ancaman yang sudah dikenal maupun  yang baru muncul.  

AI secara keseluruhan bertindak sebagai pengendali yang menghubungkan berbagai  model machine learning, mengolah informasi ancaman secara real-time, dan  menjalankan mekanisme pertahanan prediktif sebelum atau saat serangan terjadi.  

Untuk memaksimalkan potensi AI dalam keamanan siber, ITSEC Asia telah mengintegrasikan  beberapa teknologi canggih:  

  • User and Entity Behaviour Analytics (UEBA) – Mendeteksi aktivitas mencurigakan dan  pola perilaku tidak biasa yang sering terlewat oleh sistem keamanan tradisional,  memungkinkan deteksi dini terhadap akun atau sistem yang telah diretas.  
  • Security Orchestration, Automation, and Response (SOAR) – Mengotomatisasi respons  keamanan dalam hitungan detik, sehingga ancaman dapat segera dikendalikan tanpa  perlu intervensi manual.  
  • Generative AI Intelligence – Menghubungkan data ancaman dari berbagai sumber untuk  memperkuat analisis prediktif dan respons keamanan, sehingga dapat mengurangi  dampak serangan secara signifikan.  

AI tidak hanya memperkuat pertahanan siber, tetapi juga mengubah strategi keamanan dari  reaktif menjadi ofensif. Dalam sektor kritis, AI bahkan dapat menetralisir serangan sebelum  terjadi. Contohnya, AI dapat mengenali pola enkripsi mencurigakan pada ransomware sebelum  menyerang, atau mendeteksi upaya phishing dengan menganalisis email berbahaya secara real time.  

Namun, AI juga membawa tantangan baru. Pelaku kejahatan kini menggunakan AI untuk:  - Meluncurkan serangan otomatis dalam skala besar tanpa keterlibatan manusia.  - Membuat deepfake yang bisa memanipulasi identitas dan transaksi keuangan.  - Mengembangkan malware berbasis AI yang mampu menghindari deteksi.  

Selain itu, keamanan AI itu sendiri menjadi perhatian utama. Jika AI menggunakan data yang  telah dimanipulasi oleh peretas, sistem pertahanan otomatis bisa menjadi tidak efektif, atau lebih  buruk, justru menjadi alat bagi penyerang. 

“Bayangkan jika sebuah robot asisten yang tiba-tiba berbalik melawan kita. Jika  peretas merusak sumber data AI, mereka bisa memanipulasi sistem keamanan otomatis  sehingga tidak lagi efektif—atau lebih buruk lagi, menjadikannya alat bagi para pelaku kejahatan  siber," tambah Joseph. 

Seperti halnya AI digunakan untuk melawan ancaman, AI itu sendiri juga harus dilindungi dari  manipulasi. Artinya, keamanan AI harus bersifat dua arah—bukan hanya melindungi data yang  dianalisis, tetapi juga menjaga integritas AI itu sendiri.  

  • Jika AI menerima data intelijen yang sudah dimanipulasi oleh peretas, sistem prediksinya  bisa disesatkan, sehingga menghasilkan peringatan palsu atau bahkan gagal mendeteksi  ancaman nyata.  
  • Jika model AI diretas, AI bisa menjadi celah baru bagi serangan siber, misalnya dengan  menyebarkan informasi palsu atau mencuri data penting.  
  • Penjahat siber juga bisa memanfaatkan AI untuk memberikan rekomendasi keamanan  yang salah, sehingga perusahaan malah mengambil keputusan yang justru melemahkan  pertahanannya.  

Menjaga keamanan dua arah berarti bukan hanya menggunakan AI sebagai alat pertahanan, tetapi juga mencegahnya menjadi titik lemah baru dalam sistem keamanan.  

Meskipun AI punya potensi besar, masih ada beberapa tantangan dalam penerapannya di  Indonesia:  

  • Minimnya tenaga ahli di bidang AI, sehingga integrasi AI dalam sistem keamanan masih  terbatas.  
  • Keterbatasan anggaran bagi sektor UMKM, membuat mereka sulit mengakses solusi  keamanan siber berbasis AI.  
  • Kesadaran akan risiko AI yang masih rendah, sehingga banyak bisnis belum memahami  ancaman yang muncul dari teknologi ini.  

"AI bukan pengganti para profesional keamanan siber—AI adalah alat pendukung yang  memperkuat mereka," tambah Joseph. 

"Meski AI bisa mengotomatisasi deteksi dan respons  terhadap ancaman, keputusan strategis dan etika penggunaannya tetap bergantung pada  keahlian manusia,” imbuhnya. 

Untuk mengatasi tantangan ini, ITSEC Asia berinvestasi dalam pelatihan dan sertifikasi, berkolaborasi dengan CERT Indonesia, serta terus berinovasi dalam solusi keamanan berbasis  AI. Sebagai pemimpin industri, ITSEC Asia berkomitmen membantu bisnis menghadapi ancaman  siber yang semakin kompleks di era digital. 

Anda mungkin suka:Review Google Pixel 6a: Masih Kompeten di 2025?
Posting Komentar

Posting Komentar